tafsir lirik dari lagu sandaran hati letto


Menurut saya letto adalah salah satu dari sedikit band
Indonesia yang punya idealisme. Pemilihan nama letto
tidak dimaksudkan merujuk pada arti apapun. Letto
adalah kata yang tidak punya arti/ makna. Pemilihan
nama tanpa makna merupakan langkah tidak populer
dalam arus mainstream. Letto mendekosntruksi tatanan
nama dan makna. Dimana makna menjadi logosentrisme
dari sebuah nama. Letto tidak memilih nama berdasarkan
kata yang sudah terdefinisi. Para personilnya justru ingin
membuat makna Letto dengan apa yang mereka lakukan.
Singkatnya, Letto berarti apa dan bagaimana mereka
berkreasi.
Dalam kesempatan kali ini saya hanya mencoba
menafsirkan lirik lagu sandaran hati. Saya tidak
membahas kualitas musikalitas mereka, karena saya
belum paham musik :). Menariknya, penulis lirik lagunya
(Sabrang Mowo Damar Panuluh/ Noe) tidak ingin
memonopoli makna atas lagunya. Dia membebaskan
setiap penikmat lagu memberi arti berdasarkan
pengalamannya sendiri. Hal ini mengingatkan saya pada
pemikiran para filosof postmodern, seperti Heidegger
dan Derrida. “Matinya” sang pengarang (author) menjadi
trend baru dalam memahami teks.
Sandaran Hati:
Yakinkah ku berdiri/ Di hampa tanpa tepi/ Bolehkah
aku/ Mendengarmu
Terkubur dalam emosi/ Tanpa bisa bersembunyi/ Aku
dan nafasku/ Merindukanmu
Terpuruk ku di sini/ Teraniaya sepi/ Dan ku tahu pasti/
Kau menemani/ Dalam hidupku/ Kesendirianku
Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya
sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku
peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak
ada arti/ Jika kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran
hati/ Sandaran hati
Inikah yang kau mau/ Benarkah ini jalanmu/ Hanyalah
engkau yang ku tuju/ Pegang erat tanganku/ Bimbing
langkah kakiku/ Aku hilang arah/ Tanpa hadirmu/ Dalam
gelapnya/ Malam hariku
Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya
sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku
peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak
ada arti/ Jika kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran
hati/ Sandaran hati
-----
Yakinkah ku berdiri/ Di hampa tanpa tepi/ Bolehkah
aku/ Mendengarmu
Terkubur dalam emosi/ Tanpa bisa bersembunyi/ Aku
dan nafasku/ Merindukanmu
Terpuruk ku di sini/ Teraniaya sepi/ Dan ku tahu pasti/
Kau menemani/ Dalam hidupku/ Kesendirianku
Lirik ini mengajak kita mempertanyakan keberadaan diri.
Mempertanyakan menjadi jurus jitu dalam hal menanam
gagasan. Pendengar tidak disuguhi bahasa yang
langsung jadi. Dia harus mengolahnya lagi melalui
kontemplasi. Dimanakah kita saat ini? Dalam filsafat
emanasi, ruang dan waktu adalah mutlak. Segala sesuatu
bereksistensi dalam keduanya. Ukuran adalah
keterbatasan manusia memahami fenomena. Lirik ini
tidak memaksa kita mempercayai emanasi, justru
mengajak kita mempertanyakannya lagi. Benarkah kita
dalam hampa yang tak bertepi? Lalu dimana engkau
Tuhan, asal segala kejadian, sebab setiap akibat?
Bolehkah aku mendengar [kabar] tentang-Mu?
Terkubur dalam emosi/ Tanpa bisa bersembunyi/ Aku
dan nafasku/ Merindukanmu....
Menghadapi realitas kehidupan, berbagai perasaan
seperti senang, sedih, gembira, takut, cemas, galau
mengisi hati silih berganti. Seringkali kita tak mampu
mengendalikan semua emosi itu. Kita terkadang merasa
ingin lepas dari segala kepenatan itu. Namun, adalah
kepastian bahwa kita terlahir di dunia dibekali dengan
emosi (perasaan). Kita tak bisa bersembunyi
menghindarinya. Di saat seperti inilah betapa setiap
kerinduan membuncah kepada Dia yang selalu memberi
ketentraman.
Terpuruk ku di sini/ Teraniaya sepi/ Dan ku tahu pasti/
Kau menemani/ Dalam hidupku/ Kesendirianku.
Dalam keterpurukan kita mengarungi kehidupan, dimana
sebagian besar manusia memilih menghalalkan segala
cara demi memperturutkan nafsunya, kesepian-lah yang
kita tempuh karena memilih berjalan sesuai aturan-Nya.
Namun yakinlah, selama kita berada dalam jalan-Nya,
Dia selalu menemani kita di setiap kita melangkah.
Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya
sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku
peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak
ada arti/ Jika kaulah sandaran hati/ Kaulah sandaran
hati/ Sandaran hati
Pada zaman azali, Tuhan meminta persaksian diri “ alastu
birabbikum (bukankah Aku ini Tuhanmu)?” kita bersama
semua manusia serentak menjawab “iya.” Bukankah itu
berarti kita sudah terikat perjanjian dengan Tuhan?
Berjanji untuk mengakui Dia sebagai satu-satunya
tujuan, sebagai satu-satunya yang berkuasa. Dunia
sekedar jalan yang kita tempuh, yang meski sebentar
harus tetap kita lalui dan lampaui dengan sungguh-
sungguh. Apalah artinya penderitaan jika hati telah
bersandar hanya kepada-Nya yang akan menebus setiap
sedih dengan segala kasih.
Inikah yang kau mau/ Benarkah ini jalanmu/ Hanyalah
engkau yang ku tuju/ Pegang erat tanganku/ Bimbing
langkah kakiku/ Aku hilang arah/ Tanpa hadirmu/ Dalam
gelapnya/ Malam hariku
Dalam lirik ini terdapat pembedaan antara mau
(kehendak) dan jalan. Kehendak Allah, menurut Ibnu
Arabi terbagi menjadi dua: amr tawqify, amr taklify. yang
pertama adalah perintah (baca: kehendak) Allah yang
telah dia tetapkan sejak zaman azali berkaitan dengan
hukum alam yang kemudian dalam istilah arab kita sebut
sunnatullah. contoh Allah membuat setiap makhluk itu
berpasang-pasangan. ada baik ada buruk, ada iman ada
kufur, ada aksi dan reaksi. Yang kedua adalah kehendak
(perintah) Allah yang dibebankan kepada manusia
melalui nabi-nabi-Nya. Kehendak Allah ini sering juga
disebut dengan syari'at-Allah. Dan amr taklify inilah
berkonsekuensi pahala dan dosa.
Dalam al-Qur'an terdapat ayat “ walillahi yasjudu man
fis-samawati wal-ardhi thaw'an wa karhan wa zhilaa-
luhum bil-ghuduwwi wal-ashaal. ” ini artinya semua
ciptaan Tuhan bersujud kepada-Nya dengan ta'at
ataupun terpaksa. Jadi walaupun orang kafir menentang
Allah dan tidak mau tunduk dalam syari'at-Nya,
sebenarnya dia tunduk patuh kepada perintah Allah yang
pertama (amr tawqify). lirik ini mengajak kita selalu
mengintrospeksi diri. benarkah semua yang kita lakukan
sesuai dengan kehendak-Nya? apakah cukup mengikuti
kehendak-Nya saja? kehendak yang mana? Sebagai
orang yang mengaku beriman, idealnya kita harus
tawakkal berserah dan memasrahkan diri menuju pada
kehendak/ jalan Allah yang kedua (hanyalah engkau
yang ku tuju). Pasrah pada syari'at-Nya. Bukan sekedar
pasrah pada hukum alam (amr tawqify )
Jika sudah demikian maka berkenanlah cinta Tuhan jatuh
kepadanya seperti disebutkan dalam hadits qudsi, “ fa-
idzaa ahbabtuhu kuntu sam’ahu alladzi yasma’u bihi
kuntu ‘ainahu allati yubshiru biha kuntu lisaanahu
alladzi yanthiqu bihi kuntu rijlahu allati yabthisyu biha. ”
Ketika Aku sudah mencintainya, maka telinganya adalah
telingaku, matanya mataku, lidahnya lidahku, kakinya
kakiku.
Tanpa hadirnya Tuhan dalam jiwa, bagaimana bisa kita
berada dan mengada? Apa yang tidak mengabarkan
tentang Dia? Setiap gerak adalah energi dari pancaran
quwwa h-Nya. La haula wala quwwata illa billah . Maka
absennya Tuhan dalam kehidupan diibaratkan gelapnya
malam. Karena Dialah yang menerangi setiap sudut
langit dan bumi. Allahu nurus-samawati wal-ardhi ...
Ketika engkau sudah pasrah total, maka kehendakmu
sendiri lenyap, aku-mu hilang. semua menyatu dalam
kehendak dan keakuannya. seperti daun yang hanyut di
alir air, daun itu memang tampak bergerak tapi gerak
sejati adalah gerak aliran air. daun tak mampu bergerak
tanpa didorong oleh arus air. Maka tawakkal sejati
adalah pasrah ber-Tawhid kepada-Nya.
Teringat ku teringat/ Pada janjimu ku terikat/ Hanya
sekejap ku berdiri/ Kulakukan sepenuh hati/ Peduli ku
peduli/ Siang dan malam yang berganti/ Sedihku ini tak
ada arti/ Jika kaulah sandatan hati/ Kaulah sandaran
hati/ Sandaran hati
Siapakah sandaran hati kita selama ini?
"ketika kau terus mencari tetapi tak kunjung
ketemu. Kalau kau telah lelah berusaha namun
berhasil nihil. jika kau senantiasa berdoa dan
merasa tak pernah dikabulkan. Kau pun sudah
tabah menahan derita berkepanjangan. Pasrahlah.
seperti pasrahnya dawai yang dipetik, seperti
seruling yang ditiup, seperti biola yang digesek,
seperti drum yang digebuk. Lalu dengarlah betapa
indah melodi yang Dia mainkan."

Comments