THE Guardian, salah satu media terbesar di Inggris, menurunkan artikel liputan yang menggambarkan jumlah muallaf yang terus meningkat di Inggris setiap tahunnya.Menurut media ini, ada 5.000 warga Inggris yang pindah ke Islam setiap tahunnya. Kebanyakan dari mereka adalah wanita. Profil wanita yang diangkat The Guardian kebanyakan muslimah yang memiliki pandangan bahwa jilbab tidak penting dengan berbagai alasan. Berikut ini profil sebagian muallaf wanita berkebangsaan Inggris yang diulas The Guardian:
Ioni Sullivan , pekerja pemerintah daerah , 37 tahun , East Sussex
Saya menikah dengan seorang Muslim dan memiliki dua anak . Kita hidup di Lewes , di mana saya mungkin satu-satunya perempuan berjilbab di desa .
Saya lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga kelas menengah yang berhaluan kiri. Dapat dikatakan keluarga saya adalah atheis. Ayah saya seorang profesor , sementara ibu seorang guru . Setelah saya menyelesaikan magister di Universitas Cambridge pada tahun 2000, saya bekerja di Mesir, Yordania, Palestina dan Israel. Pada saat itu, pandangan saya tentang Islam sangat buruk. Namun, belakangan saya terkesan dengan kekuataan iman yang terpancar dari muslimin.
Saya bisa katakan kehidupan muslim itu penuh dengan ketenangan dan stabilitas individu yang baik. Sangat kontras dengan kehidupan barat yang dulu pernah saya alami.
Pada 2011, saya menjalin hubungan asmara dengan seorang pria asal Yordania. Pada awalnya, kami menjalani kehidupan ala barat. Kami pergi ke bar dan klub. Tapi, tidak lama kemudian, saya mulai kursus bahasa Arab dan memulai belajar Al Quran. Saya menemukan diri saya saat membaca Al Quran berbahasa Inggris. Al Quran menjadi bukti bahwa manusia dapat mengenal Tuhannya melalui keindahan ciptaanNya. Sebuah ciptaan Tuhan yang penuh dengan keindahan tak terbatas dan keseimbangan. Tidak ada satu pun yang memaksa saya untuk mempercayai Tuhan berjalan di Bumi dalam bentuk manusia. Saya tidak membutuhkan seorang imam untuk memberkati saya, atau tempat suci untuk berdoa.
Saya melihat ajaran Islam itu penuh dengan aturan yang membatasi kebebasan manusia, seperti: puasa, zakat dan kesopanan. Saya melihat ajaran-ajaran tersebut sebagai upaya membatasi manusia dari kebebasan pribadi dan sebagai cara untuk mengendalikan diri.
Saya mulai beranggapan bahwa diri saya adalah muslimah, namun tidak merasa perlu memberitahukan hal ini ke orang lain. Ada bagian dari diri saya untuk menghindari konflik dengan keluarga dan teman-teman terkait keislaman ini. Namun, pada akhirnya semua orang kaget setelah saya mengenakan jilbab. Saya mulai merasa tidak jujur pada diri sendiri jika tidak mengenakan jilbab. Pada awalnya jilbab saya ini dijadikan lelucon oleh sebagian orang. Ada yang bertanya apakah saya memiliki kanker yang harus ditutupi. (*)
Anita Nayyar, psikolog, 31 Tahun, London
Saya adalah seorang Anglo-India keturunan Hindu. Kakek saya seorang Hindu yang tinggal di wilayah perbatasan India-Pakistan. Keluarga saya ditembak oleh kelompok muslim, dan mengakibatkan memiliki pandangan yang buruk terhadap Islam. Saya adalah seorang Kristen taat, yang memiliki ikatan spiritual dengan gereja. Saya pernah memiliki cita-cita ingin menjadi pendeta.
Ketika usia 16 tahun, saya memilih masuk ke Perguruan Tinggi sekuler. Di sana, saya berteman dengan banyak muslim. Saya terkejut betapa kehidupan mereka sangat normal dan sudah tentu saya menyukai mereka. Suatu saat, saya memulai berdebat dengan mereka. Saya ajukan argumen mengenai betapa bahayanya agama yang mereka anut.
Awalnya, saya mengira Islam itu tidak berbeda dengan Kristen. Namun, rupanya Islam lebih masuk akal. Butuh proses selama satu setengah tahun, sebelum saya memutuskan untuk berpindah ke Islam. Pada tahun 2000, saya kemudian menjadi muslimah di usia 18 tahun.
Keputusan ini membuat ibu saya kecewa dan beberapa anggota keluarga merasa dikhianati. Namun, diam-diam ayah saya menerima keputusan saya.
Dr Annie (Amina) Coxon, konsultan psikis dan ahli neurologi, usia 72, London
Saya adalah warga Inggris tulen yang dibesarkan di Amerika Serikat dan Mesir. Sebelumnya, saya sempat mengenyam pendidikan di sekolah asrama pada usia 6 tahun di Inggris. Setelah lulus, lalu mengambil pelatihan medis di Inggris dan Amerika Serikat. Riwayat pernikahan saya adalah dua kali dengan tiga anak tiri dan 5 cucu tiri.
Saya pindah ke Islam 21 tahun lalu. Ini merupakan pencarian spiritualitas alternatif yang panjang dari ajaran Katolik. Secara khusus, saya tidak pernah melirik Islam sebagai pencarian spiritual saya. Hal itu disebabkan gambaran negatif media massa tentang Islam. Proses perpindahan saya ke Islam melalui banyak tahapan, dan puncaknya adalah ketika dibimbing oleh salah seorang pasien saya, ibunda Sultan Oman saat ini. Selain itu, saya juga mengalami banyak rangkaian mimpi.
Keluarga saya pun terkejut pada awalnya, namun kemudian mereka bisa menerima keputusan saya pindah ke Islam. Bagaimana pun juga, setelah black september 9/11, hubungan dengan saudara ipar saya berubah. Mereka tidak mau menerima saya di rumah mereka. Jumlah teman saya menyusut gara-gara keislaman saya, namun ada juga beberapa teman yang mau berkawan dengan saya karena dianggap eksentrik.
Tatkala saya memeluk Islam, seorang Imam meminta saya untuk menyesuaikan busana keislaman saya. Namun, saya pikir saya tidak perlu mengenakan jilbab karena sudah tua. Selama Ramadhan, kesabaran saya benar-benar diuji, apalagi ketika ke masjid. Respon publik terhadap keislaman saya lebih banyak yang bersifat fasis ketimbang menghargai.
Saya bergabung dengan banyak komunitas muslim, baik dari Turki, Pakistan maupun Maroko. Saya pernah pergi ke masjid Maroko untuk tiga tahun, namun tidak satu pun yang saya jumpai mengucapkan “selamat Idul Firti”. Saya mengidap kanker, namun tidak satu pun kawan muslim saya (kecuali seorang pria tua) datang mendoakan. Padahal, selama sembilan bulan, saya dalam masa pengobatan.
Namun, bagi saya, itu semua merupakan gangguan kecil jika dibandingkan dengan apa yang saya dapat dalam Islam. Saya mendapatkan ketenangan, kebijaksanaan dan kedamaian. Kini, saya menemukan komunitas muslim saya, dan mereka adalah warga Afrika. (*)
Kristiane Backer, presenter TV, 47 tahun, London
Saya tumbuh di Jerman dalam sebuah keluarga Protestan yang tidak terlalu taat. Pada tahun 1989, saya pindah ke London dan membawakan program MTV Eropa. Saya sudah mewawancari banyak orang, mulai dari Bob Geldof sampai David Bowie. Kehidupan saya penuh dengan kerja keras dan pesta tentunya. Tapi, saya merasakan ada yang hilang.
Suatu ketika di saat saya kritis, saya diperkenalkan dengan seorang atlet kriket, Imran Khan. Dia memberikan saya sebuah buku tentang Islam. Dia juga mengundang saya untuk mengunjungi Pakistan. Perjalanan-perjalanan di atas membuka dimensi baru dalam kehidupan saya, sebuah spiritual kepedulian. Saya tersentuh dengan kemurahan hati, kejayaan dan kesiapan umat Islam untuk berkorban bagi yang lain. Semakin saya banyak membaca tentang Islam, semakin saya tertarik dengan agama ini. Saya pun memutuskan berpindah agama pada tahun 1995.
Ketika media Jerman, tempat di mana saya bekerja, mengetahui keislaman saya, maka karir saya di televisi pun berakhir. Itu adalah akhir dari karir entertainment saya. Ini menjadi sebuah tantangan ketika terjadi transformasi dari pekerjaan saya di televisi menuju nilai-nilai baru yang saya temukan, yakni Islam. Meski demikian, pekerjaan saya masih berkaitan dengan penyiaran, kini dipercaya memegang program budaya & gaya hidup muslim. Saya merasa menjadi jembatan untuk memainkan peranan antara komunitas muslim dengan kehidupan sosial yang lebih luas lagi.
Kebanyakan muslim menikah di usia muda, dengan bantuan keluarga mereka. Saya masuk Islam ketika berusia 30 tahun, dan masih sendiri hingga 10 tahun kemudian. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari jodoh melalui jasa online. Akhirnya, saya menemukan pujaan hati, dan jatuh hati dengan seorang produser TV asal Maroko yang sudah tinggal di AS. Kami merasa banyak memiliki kesamaan, dan akhirnya menikah pada tahun 2006. Belakangan, pandangan keislaman suami saya sangat mengontrol kehidupan saya. Saya diminta untuk berhenti berkarir, tidak berbicara dengan pria lain, bahkan memotong/menggunting siapa pun pria yang ada dalam foto-foto saya. Saya seharusnya berhenti dari dia, karena banyak permintaannya, yang menurut saya bukan ajaran Islam, hanya budaya. Saya menginginkan pernikahan yang membolehkan saya bekerja. Kini, saya mencari seorang suami muslim yang bisa dipercaya, yang fokus pada nilai-nilai kandungan Islam, ketimbang membatasi gerak-gerik saya.
Saya tidak menyesal masuk Islam. Hidup saya penuh makna dan itu sangat tidak ternilai harganya bagi saya. (*)
Andrea Chishti, guru , 47 tahun, Watford
Saya memiliki pernikahan yang bahagia selama 18 tahun dengan seorang muslim asli Pakistan. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai seorang anak laki-laki (11 tahun) dan anak perempuan (8 tahun).
Suami saya, Fida, dan saya bertemu di universitas yang sama pada 1991. Ketertarikan saya pada Islam merupakan hubungan simbiosa antara cinta dengan ide-ide intelektualitas. Membutuhkan waktu hingga lebih dari tiga tahun hingga menuju jenjang pernikahan. Selama itu pula, “pertempuran” di antara kita terjadi, bertemu dengan sejumlah kolega dan keluarga. Bagaimana kehidupan kami dibentuk nanti setelah menikah.
Saya tumbuh di Jerman, dalam sebuah keluarga yang beranggapan agama bukan sesuatu yang harus diikuti. Ayah saya seorang atheis. Namun, ibu saya dan sekolah saya mengajarkan spiritualitas ketuhanan merupakan sesuatu yang penting. Ketika mengetahui keislaman saya, ayah menganggap saya sudah gila. Namun dia menyukai suami saya. Oleh sebab itu, ayah saya membelikan sebuah flat kecil agar saya bisa kembali ke Jerman.
Ibu saya rupanya terkejut dengan keislaman saya. Bahkan, dia ketakutan. Pesta pernikahan yang kita jalani mengikuti tradisi Pakistan. Meski saya sudah Islam, rupanya keluarga suami tidak begitu menyukai saya. Mereka lebih menyukai seorang wanita yang memang memiliki latar belakang muslim. Kami pun memutuskan pindah negara, karena itu menjadi bagian dari kesepakatan antar keluarga.
Saya tidak merasa perlu berbusana berbeda dari kebanyakan. Saya tidak merasa perlu mengenakan jilbab dalam keseharian saya, tapi bagaimana pun juga, saya merasa nyaman mengenakan jilbab di masyarakat ketika dalam tugas keagamaan. Alasan saya tidak mengenakan jilbab karena ibu saya juga. Bagi ibu saya, menjadi masalah besar jika saya mengenakan jilbab.
Saya seseorang yang mengikuti akal sehat. Saya tidak minum-minuman, saya seorang guru. Jadi, bisa dikatakan saya masuk Islam tidak mengubah kebiasaan lama saya. Bahkan, dengan keislaman saya, saya merasa kuat etika dan moral. Islam menjadi pondasi yang bagus untuk keluarga saya. [fadhil-miumi]
Comments
Post a Comment